Infokom DPP - Badan Bantuan Hukum Persatuan Perawat Nasional Indonesia ( BBH PPNI) melibatkan anggota DPR Komisi IX untuk memberikan pandangan maupun arahan yang terkait dengan kebijakan-kebijakan yang bersinggungan dengan kepentingan perawat.
Hal tersebut terealisasi disaat pelaksanan seminar & workshop BBH PPNI yang berlangsung selama dua hari, 24-25 Agustus 2014.
“Dengan seminar ini, saya lihat dan memperhatikan cukup bagus, dikarenakan Pengurus PPNI di bagian barat Indonesia mendapatkan pencerahan langsung dari Kemenkes, Kepolisian dan DPR RI Komisi IX yang membidanginya, sebagai pembuat eksekusi, penyerap inspirasi, sekaligus memperjuangkannya,” kata Drs. H. Imam Suroso, S.Sos.,SH.,MM usai menyampaikan materi pada kegiatan seminar & workshop BBH PPNI di Hotel Mercure Gatot Subroto Jakarta, Sabtu (24/8/2019).
Anggota DPR RI Komisi IX (bidang Tenaga Kerja & Transmigrasi, Kependudukan, Kesehatan) ini menerangkan bahwa dirinya terlibat dalam membuat UU Keperawatan No 38/2014. Dengan cara membuat dan memperjuangkan UU tersebut, setelah mendengarkan aspirasi melalui demo, dan juga permintaan dari saudaranya yang rekan perawat, untuk segera meminta dibuatkan UU Keperawatan.
“Sebenarnya keberadaan UU Keperawatan itu sebagai payung hukum yang benar, bagus dan berdasar hukum apa saja yang ada di dunia” ucap Imam Suroso, yang lahir di Pati, 10 Januari 1964 lalu.
Diungkapkannya, dari hasil masukan atau aspirasi perawat saat diadakan tanya jawab dikesempatan seminar hari ini, yang berkaitan masalah STR (Surat Tanda Registrasi), ia meminta segera dibantu bila terjadi kesulitan kepada Kemenkes yang membidanginya.
Sementara masalah praktik mandiri, sebagai wakil rakyat sangat merespon hal tersebut, agar perawat dapat berpraktik dan perlu mengikuti pendidikan yang lebih tinggi dari S1, S2 dan seterusnya. Semua yang dilindungi oleh peraturan, pihaknya pasti mendukung, bahkan kalau perlu pemerintah wajib mendukung untuk menganggarkan pembiayaan pendidikan bagi perawat, termasuk kesejahteraan perawat.
“Berkaitan dengan remunerasi, sertifikasi bagi perawat, akan kami dengarkan untuk dirumuskan dan nantinya dibicarakan dengan pihak Kemenkes,” ungkap pria yang biasa disebut Mbah Roso ini.
Sehubungan dengan Permenkes No.26 Tahun 2019 mengenai kebijakan pelaksanaan praktik mandiri yang mengharuskan perawat bestatus Ners, yang diperbolehkan untuk melakukan praktik mandiri menjadi pembahasan juga. Sementara itu, untuk mendapatkan gelar Ners masih adanya kendala di berbagai daerah tertentu dan juga penerapannya, dalam hal ini anggota DPR RI memberikan pandangan positif saja.
Berdasarkan pendapatnya, berkaitan dengan Permenkes tersebut, jika mengikuti aturan menurutnya, itu hal yang bagus, dikarenakan peraturan itu merupakan hasil pemikiran dan dapat menguntungkan bagi organisasi profesi perawat.
Selain itu, ia menganggap bahwa praktek mandiri itu untuk kepentingan rakyat, kepentingan perawat sendiri maupun pelayanan kesehatan. Sebenarnya di Permenkes itukan sampai 7 tahun, jadi masih ada waktu sekitar 2 tahun, bila perawat akan menyesuaikan diri untuk menuju gelar Ners, dan peraturan itu berlaku pada profesi bidan juga.
“Memang harapan untuk yang berpraktek itu benar-benar orang yang profesional, dikarenakan pengobatan itu tidak main-main dan menyangkut nyawa orang, jadi setidaknya harus benar-benar membidanginya,” tegas Imam.
“Maaf saja nih, jika sudah lulus D3 Keperawatan dan langsung praktek, apakah tidak membahayakan juga dalam menjalankan praktik mandiri?, atau solusinya, bagi yang belum Ners sementara dapat bergabung dulu dengan yang sudah Ners itu, mungkin sebagai wakilnya,” lanjutnya.
Menurutnya pula, peraturan tersebut demi mutu pelayanan, yang tentunya jika legitimasi perawat itu tinggi, akan dipercaya rakyat, namun bila ditemukan banyak kesalahan akan terkesan tidak profesional. Ia berpendapat bahwa ilmu pendidikan juga akan berpengaruh terhadap kualitas pelayanan praktik mandiri.
“Namun, jika nantinya peraturan itu perlu revisi, diperlukan pengawalan khusus itu tidak jadi masalah. Sesuai fungsinya, DPR RI itu dapat membuat UU, merevisi bahkan merubahnya, bila tidak bagus untuk rakyat. Ini kan hasil kerjasama DPR RI dan pemerintah,” tuturnya.
Dalam keterangannya, Imam Suroso mengatakan bahwa semua masukan dari teman-teman perawat dicatat dan tidak main-main. PPNI beruntung, dikarenakan narasumber seminar kali ini langsung dari DPR RI, jadi dapat langsung eksekusi nantinya, bukan hanya membuat wacana saja.
“Jadi langsung memperjuangkannya, seperti adanya UU keperawatan yang ada sekarang. Selain itu, kami juga sebagai penguji dan pengawas terhadap kebijakan yang telah berjalan,” katanya.
Berkaitan dengan kasus hukum yang dialami perawat, perlu mengutamakan berbagai kelengkapan persyaratan terlebih dahulu yang telah ditetapkan di dalam UU Keperawatan, agar terhindar dari masalah hukum dan keberadaan BBH PPNI itu baik serta perlu difungsikan keberadaannya.
“Didalam UU kan berlaku bagi perawat keharusan memiliki STR dan SIPP, itu yang harus dipenuhi dulu, serta menjalankan SOP yang sudah ada, pasti merasa aman. Bila terjadi hal yang tidak diinginkan (mal praktek/pasien meninggal), namun perawat sudah menjalankan SOP yang benar, dengan kejadian pasien yang meninggal, sebenarnya tidak ada hubungan, tentunya tidak dapat digugat dan masalah takdir itu kan sudah urusan sang pencipta,” jelasnya lagi.
Diutarakannya juga, setelah semua menjalankan prosedur yang benar dan punya kelengkapan surat-surat, tetapi terjadinya sesuatu yang tidak diinginkan dan dipermasalahkan, maka perawat yang mengalami kasus hukum tersebut dapat meminta bantuan kepada BBH PPNI.
“Kalau bisa menyelesaikan kasus hukum itu sebaiknya secara kekeluargaan terlebih dulu, seandainya kasusnya maju ke tingkat pengadilan perlu dihadapi, karena perawat sudah punya UU Keperawatan sebagai payung hukumnya,” tutup anggota DPR RI, yang terpilih kembali untuk periode 2019-2024. (IR)
Anggota DPR RI Berkontribusi Terbentuknya UU Keperawatan Sebagai Payung Hukum
Infokom DPP - Badan Bantuan Hukum Persatuan Perawat Nasional Indonesia ( BBH PPNI) melibatkan anggota DPR Komisi IX untuk memberikan pandangan maupun arahan yang terkait dengan kebijakan-kebijakan yang bersinggungan dengan kepentingan perawat.
Hal tersebut terealisasi disaat pelaksanan seminar & workshop BBH PPNI yang berlangsung selama dua hari, 24-25 Agustus 2014.
“Dengan seminar ini, saya lihat dan memperhatikan cukup bagus, dikarenakan Pengurus PPNI di bagian barat Indonesia mendapatkan pencerahan langsung dari Kemenkes, Kepolisian dan DPR RI Komisi IX yang membidanginya, sebagai pembuat eksekusi, penyerap inspirasi, sekaligus memperjuangkannya,” kata Drs. H. Imam Suroso, S.Sos.,SH.,MM usai menyampaikan materi pada kegiatan seminar & workshop BBH PPNI di Hotel Mercure Gatot Subroto Jakarta, Sabtu (24/8/2019).
Anggota DPR RI Komisi IX (bidang Tenaga Kerja & Transmigrasi, Kependudukan, Kesehatan) ini menerangkan bahwa dirinya terlibat dalam membuat UU Keperawatan No 38/2014. Dengan cara membuat dan memperjuangkan UU tersebut, setelah mendengarkan aspirasi melalui demo, dan juga permintaan dari saudaranya yang rekan perawat, untuk segera meminta dibuatkan UU Keperawatan.
“Sebenarnya keberadaan UU Keperawatan itu sebagai payung hukum yang benar, bagus dan berdasar hukum apa saja yang ada di dunia” ucap Imam Suroso, yang lahir di Pati, 10 Januari 1964 lalu.
Diungkapkannya, dari hasil masukan atau aspirasi perawat saat diadakan tanya jawab dikesempatan seminar hari ini, yang berkaitan masalah STR (Surat Tanda Registrasi), ia meminta segera dibantu bila terjadi kesulitan kepada Kemenkes yang membidanginya.
Sementara masalah praktik mandiri, sebagai wakil rakyat sangat merespon hal tersebut, agar perawat dapat berpraktik dan perlu mengikuti pendidikan yang lebih tinggi dari S1, S2 dan seterusnya. Semua yang dilindungi oleh peraturan, pihaknya pasti mendukung, bahkan kalau perlu pemerintah wajib mendukung untuk menganggarkan pembiayaan pendidikan bagi perawat, termasuk kesejahteraan perawat.
“Berkaitan dengan remunerasi, sertifikasi bagi perawat, akan kami dengarkan untuk dirumuskan dan nantinya dibicarakan dengan pihak Kemenkes,” ungkap pria yang biasa disebut Mbah Roso ini.
Sehubungan dengan Permenkes No.26 Tahun 2019 mengenai kebijakan pelaksanaan praktik mandiri yang mengharuskan perawat bestatus Ners, yang diperbolehkan untuk melakukan praktik mandiri menjadi pembahasan juga. Sementara itu, untuk mendapatkan gelar Ners masih adanya kendala di berbagai daerah tertentu dan juga penerapannya, dalam hal ini anggota DPR RI memberikan pandangan positif saja.
Berdasarkan pendapatnya, berkaitan dengan Permenkes tersebut, jika mengikuti aturan menurutnya, itu hal yang bagus, dikarenakan peraturan itu merupakan hasil pemikiran dan dapat menguntungkan bagi organisasi profesi perawat.
Selain itu, ia menganggap bahwa praktek mandiri itu untuk kepentingan rakyat, kepentingan perawat sendiri maupun pelayanan kesehatan. Sebenarnya di Permenkes itukan sampai 7 tahun, jadi masih ada waktu sekitar 2 tahun, bila perawat akan menyesuaikan diri untuk menuju gelar Ners, dan peraturan itu berlaku pada profesi bidan juga.
“Memang harapan untuk yang berpraktek itu benar-benar orang yang profesional, dikarenakan pengobatan itu tidak main-main dan menyangkut nyawa orang, jadi setidaknya harus benar-benar membidanginya,” tegas Imam.
“Maaf saja nih, jika sudah lulus D3 Keperawatan dan langsung praktek, apakah tidak membahayakan juga dalam menjalankan praktik mandiri?, atau solusinya, bagi yang belum Ners sementara dapat bergabung dulu dengan yang sudah Ners itu, mungkin sebagai wakilnya,” lanjutnya.
Menurutnya pula, peraturan tersebut demi mutu pelayanan, yang tentunya jika legitimasi perawat itu tinggi, akan dipercaya rakyat, namun bila ditemukan banyak kesalahan akan terkesan tidak profesional. Ia berpendapat bahwa ilmu pendidikan juga akan berpengaruh terhadap kualitas pelayanan praktik mandiri.
“Namun, jika nantinya peraturan itu perlu revisi, diperlukan pengawalan khusus itu tidak jadi masalah. Sesuai fungsinya, DPR RI itu dapat membuat UU, merevisi bahkan merubahnya, bila tidak bagus untuk rakyat. Ini kan hasil kerjasama DPR RI dan pemerintah,” tuturnya.
Dalam keterangannya, Imam Suroso mengatakan bahwa semua masukan dari teman-teman perawat dicatat dan tidak main-main. PPNI beruntung, dikarenakan narasumber seminar kali ini langsung dari DPR RI, jadi dapat langsung eksekusi nantinya, bukan hanya membuat wacana saja.
“Jadi langsung memperjuangkannya, seperti adanya UU keperawatan yang ada sekarang. Selain itu, kami juga sebagai penguji dan pengawas terhadap kebijakan yang telah berjalan,” katanya.
Berkaitan dengan kasus hukum yang dialami perawat, perlu mengutamakan berbagai kelengkapan persyaratan terlebih dahulu yang telah ditetapkan di dalam UU Keperawatan, agar terhindar dari masalah hukum dan keberadaan BBH PPNI itu baik serta perlu difungsikan keberadaannya.
“Didalam UU kan berlaku bagi perawat keharusan memiliki STR dan SIPP, itu yang harus dipenuhi dulu, serta menjalankan SOP yang sudah ada, pasti merasa aman. Bila terjadi hal yang tidak diinginkan (mal praktek/pasien meninggal), namun perawat sudah menjalankan SOP yang benar, dengan kejadian pasien yang meninggal, sebenarnya tidak ada hubungan, tentunya tidak dapat digugat dan masalah takdir itu kan sudah urusan sang pencipta,” jelasnya lagi.
Diutarakannya juga, setelah semua menjalankan prosedur yang benar dan punya kelengkapan surat-surat, tetapi terjadinya sesuatu yang tidak diinginkan dan dipermasalahkan, maka perawat yang mengalami kasus hukum tersebut dapat meminta bantuan kepada BBH PPNI.
“Kalau bisa menyelesaikan kasus hukum itu sebaiknya secara kekeluargaan terlebih dulu, seandainya kasusnya maju ke tingkat pengadilan perlu dihadapi, karena perawat sudah punya UU Keperawatan sebagai payung hukumnya,” tutup anggota DPR RI, yang terpilih kembali untuk periode 2019-2024. (IR)