Infokom DPP PPNI - Perjuangan dan pengorbanan terus dilakukan Organisasi Profesi (OP) Kesehatan untuk menolak pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan Omnibus Law oleh pemerintah bersama DPR RI.
Melalui pertemuan bersama dari ke lima OP Kesehatan, Harif Fadhillah selaku Ketua Umum DPP PPNI bersama empat para Ketua Umum atau perwakilan OP Kesehatan lainnya untuk berdiskusi sekaligus membahas aksi damai.
Nampak hadir Moh Adib Khumaidi (Ikatan Dokter Indonesia/IDI), Paulus Januar (Persatuan Dokter Gigi Indonesia/PDGI), Ade Jubaedah (Ikatan Bidan Indonesia/IBI) dan Tresnawati (Ikatan Apoteker Indonesia/IAI), ke lima OP Kesehatan tersebut melakukan siaran pers di Jakarta, Rabu (3/5/2023).
Dalam penjelasannya, Harif Fadhillah mengatakan bahwa RUU Kesehatan berpotensi memperlemah perlindungan dan kepastian hukum bagi Perawat/nakes dan masyarakat, mendegradasi profesi kesehatan dalam sistem kesehatan nasional, dimana berpotensi memperlemah peran masyarakat madani dalam iklim demokrasi di Indonesia.
Menurutnya, RUU Kesehatan itu sebagai upaya memecah belah organisasi profesi yang mengawal profesionalisme anggota, dan lebih mementingkan tenaga kesehatan asing.
“Kami juga menghimbau kepada seluruh anggota Organisasi Profesi untuk tetap solid memperjuangkan kepentingan profesi dan masyarakat,” kata Harif Fadhillah pada siaran pers tersebut.
Sementara itu, Ketua Umum PB IDI menyampaikan bahwa aksi damai ini sebagai bentuk keprihatinan para Organisasi Profesi Kesehatan melihat proses pembuatan regulasi yang terburu-buru dan tidak memperhatikan masukan dari organisasi profesi yang notebene merupakan pekerja lapangan.
“Kami tetap menjamin akses pelayanan kesehatan untuk masyarakat tetap terlayani dengan baik,” ucap Moh Adib Khumaidi.
Diterangkannya, pihaknya juga ingin mengingatkan pemerintah bahwa masih ada banyak permasalahan kesehatan di lapangan yang perlu diperhatikan oleh pemerintah. Dengan cara meningkatkan akses ke layanan kesehatan, meningkatkan kualitas layanan yang diberikan, dan memanfaatkan teknologi adalah beberapa solusi yang dapat membantu meningkatkan layanan kesehatan di Indonesia.
“Pemerintah perlu memperluas akses ke layanan kesehatan di komunitas yang kurang terlayani, selama ini akses ke fasilitas kesehatan masih kurang oleh rakyat yang di pedalaman, dan para tenaga medis juga kesulitan menjangkau ke wilayah penduduk karena infrastruktur dan keterbatasan sarana. Ha-hal seperti inilah yang perlu lebih diperhatikan oleh pemerintah dan para wakil rakyat di parlemen dari pada terus menerus membuat undang-undang baru,” jelasnya.
Adapun protes dan cuti pelayanan adalah hak asasi manusia sebagaimana dinyatakan dalam deklarasi universal PBB tentang hak asasi manusia. Di seluruh dunia, aksi damai dan protes diadakan untuk mengkritisi pelanggaran hak asasi manusia untuk secara tegas mengedepankan pandangan organisasi atau komunitas kepada pemerintah atau penguasa negara.
Sehingga lima organisasi profesi ini sepakat menyuarakan bahwa terlalu banyak tekanan yang diberikan oleh pemerintah terkait pembahasan RUU Kesehatan ini pada para tenaga medis.
“Kami juga mengkritisi pengecualian adaptasi terhadap dokter lulusan luar negeri dan pendidikan dokter spesialis secara hospital based dengan syarat dimana hanya perlu dilakukan di RS yang terakreditasi. Padahal selama ini pendidikan dokter spesialis dilakukan di RS dengan akreditasi tertinggi. Kedua hal tersebut dikhawatirkan dapat menyebabkan lahirnya tenaga kesehatan yang sub standar. Bila Hal ini terjadi maka yang dirugikan bukan hanya profesi tapi yang lebih dirugikan adalah kesehatan masyarakat yang dilayani,” ungkap Paulus Januar, selaku Ketua Biro Hukum dan Kerjasama PDGI.
Peningkatan Akses Layanan untuk Masyarakat dan Kesejahteraan Para Tenaga Medis
Lima organisasi profesi medis ini juga menyampaikan bahwa cukup banyak tenaga medis dan tenaga kesehatan dengan ikatan kerja yang tidak jelas hingga tidak ada jaminan dalam menjalankan pekerjaan profesinya.
RUU Kesehatan Omnibuslaw ini ternyata tidak memberikan jaminan hukum mengenai kepastian kerja dan kesejahteraan tenaga medis dan tenaga kesehatan, bahkan juga tidak ada jaminan perlindungan hukum bagi para tenaga kesehatan.
Apapun yang selama ini didengungkan oleh pemerintah, tidak pernah dijalankan di lapangan, pada akhirnya selalu Organisasi Profesi yang selalu berada di garis depan melindungi anggotanya. Misalkan saja, kekerasan terhadap dokter internship yang terjadi di Lampung baru-baru ini, dan yang beberapa waktu lalu terjadi terhadap dr Zaenal Mutaqqin, sebagai dokter spesialis bedah saraf dengan keahlian langka, namun karena sikap kritisnya ternyata dapat dihentikan kontrak kerjanya di RS Karyadi Semarang.
“Kalau terhadap seorang guru besar dan dokter spesialis konsultan dengan reputasi internasional dapat diperlakukan demikian, bagaimana dengan tenaga kesehatan yang lebih lemah posisinya. Ternyata pada RUU Kesehatan tidak melindungi tenaga medis dan tenaga kesehatan dalam mendapatkan kepastian dalam menjalankan pekerjaan profesinya,” ungkap Mahesa Paranadipa Maikel, selaku Wakil Ketua II PB IDI.
Tantangan terhadap Akses Pelayanan Kesehatan
Salah satu tantangan utama yang dihadapi sistem kesehatan Indonesia adalah akses terhadap perawatan. Menurut data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), hanya 38 persen penduduk Indonesia yang memiliki akses terhadap layanan kesehatan dasar. Hal ini sebagian disebabkan kurangnya infrastruktur dan sumber daya di daerah pedesaan, di mana banyak orang Indonesia tinggal. Untuk mengatasi masalah ini, perlu ada perluasan fasilitas dan layanan kesehatan di daerah-daerah tersebut, serta peningkatan pembiayaan untuk kesehatan.
“Banyak tenaga kesehatan yang bersedia bertugas di tempat-tempat terpencil, namun tidak dapat bekerja secara maksimal karena minimnya sarana baik fasilitas kesehatan maupun akses menuju faskes yang tidak diperhatikan oleh pemerintah. Belum lagi masih tidak jaminan perlindungan dan keselamatan para tenaga kesehatan saat bertugas dari pemerintah setempat dan pusat,” jelas Ade Jubaedah, selaku Sekretaris Jenderal PB IBI.
“Ada dua hal yang membuat kami terpaksa melakukan rencana aksi, pertama pembahasan RUU ini yang dari awal banyak yang disembunyikan dan sangat terburu-buru tanpa memperhatikan masukan dari kami dari Organisasi Profesi Kesehatan medis. Kedua, ada upaya untuk mengadu domba memecah belah masyarakat profesi yang akan sangat merugikan masa depan kesehatan. Keberadaan Organisasi Profesi Kesehatan yang selama ini mengabdi bagi negeri tidak diterima masukannya,” kata Tresnawati, selaku Wakil Sekretaris Jenderal IAI.
Kesimpulannya, bahwa kelima organisasi profesi medis ini juga menyoroti pentingnya kolaborasi yang lebih baik antara berbagai pemangku kepentingan di sektor kesehatan. Ini termasuk lembaga pemerintah, organisasi profesi, dan kelompok masyarakat sipil. Dengan bekerja sama, semua pihak dapat mengembangkan strategi yang efektif untuk mengatasi permasalahan dalam layanan kesehatan di Indonesia. (IR)
OP Kesehatan Tolak Pembahasan RUU Kesehatan, Pentingnya Kolaborasi di Sektor Kesehatan
Infokom DPP PPNI - Perjuangan dan pengorbanan terus dilakukan Organisasi Profesi (OP) Kesehatan untuk menolak pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan Omnibus Law oleh pemerintah bersama DPR RI.
Melalui pertemuan bersama dari ke lima OP Kesehatan, Harif Fadhillah selaku Ketua Umum DPP PPNI bersama empat para Ketua Umum atau perwakilan OP Kesehatan lainnya untuk berdiskusi sekaligus membahas aksi damai.
Nampak hadir Moh Adib Khumaidi (Ikatan Dokter Indonesia/IDI), Paulus Januar (Persatuan Dokter Gigi Indonesia/PDGI), Ade Jubaedah (Ikatan Bidan Indonesia/IBI) dan Tresnawati (Ikatan Apoteker Indonesia/IAI), ke lima OP Kesehatan tersebut melakukan siaran pers di Jakarta, Rabu (3/5/2023).
Dalam penjelasannya, Harif Fadhillah mengatakan bahwa RUU Kesehatan berpotensi memperlemah perlindungan dan kepastian hukum bagi Perawat/nakes dan masyarakat, mendegradasi profesi kesehatan dalam sistem kesehatan nasional, dimana berpotensi memperlemah peran masyarakat madani dalam iklim demokrasi di Indonesia.
Menurutnya, RUU Kesehatan itu sebagai upaya memecah belah organisasi profesi yang mengawal profesionalisme anggota, dan lebih mementingkan tenaga kesehatan asing.
“Kami juga menghimbau kepada seluruh anggota Organisasi Profesi untuk tetap solid memperjuangkan kepentingan profesi dan masyarakat,” kata Harif Fadhillah pada siaran pers tersebut.
Sementara itu, Ketua Umum PB IDI menyampaikan bahwa aksi damai ini sebagai bentuk keprihatinan para Organisasi Profesi Kesehatan melihat proses pembuatan regulasi yang terburu-buru dan tidak memperhatikan masukan dari organisasi profesi yang notebene merupakan pekerja lapangan.
“Kami tetap menjamin akses pelayanan kesehatan untuk masyarakat tetap terlayani dengan baik,” ucap Moh Adib Khumaidi.
Diterangkannya, pihaknya juga ingin mengingatkan pemerintah bahwa masih ada banyak permasalahan kesehatan di lapangan yang perlu diperhatikan oleh pemerintah. Dengan cara meningkatkan akses ke layanan kesehatan, meningkatkan kualitas layanan yang diberikan, dan memanfaatkan teknologi adalah beberapa solusi yang dapat membantu meningkatkan layanan kesehatan di Indonesia.
“Pemerintah perlu memperluas akses ke layanan kesehatan di komunitas yang kurang terlayani, selama ini akses ke fasilitas kesehatan masih kurang oleh rakyat yang di pedalaman, dan para tenaga medis juga kesulitan menjangkau ke wilayah penduduk karena infrastruktur dan keterbatasan sarana. Ha-hal seperti inilah yang perlu lebih diperhatikan oleh pemerintah dan para wakil rakyat di parlemen dari pada terus menerus membuat undang-undang baru,” jelasnya.
Adapun protes dan cuti pelayanan adalah hak asasi manusia sebagaimana dinyatakan dalam deklarasi universal PBB tentang hak asasi manusia. Di seluruh dunia, aksi damai dan protes diadakan untuk mengkritisi pelanggaran hak asasi manusia untuk secara tegas mengedepankan pandangan organisasi atau komunitas kepada pemerintah atau penguasa negara.
Sehingga lima organisasi profesi ini sepakat menyuarakan bahwa terlalu banyak tekanan yang diberikan oleh pemerintah terkait pembahasan RUU Kesehatan ini pada para tenaga medis.
“Kami juga mengkritisi pengecualian adaptasi terhadap dokter lulusan luar negeri dan pendidikan dokter spesialis secara hospital based dengan syarat dimana hanya perlu dilakukan di RS yang terakreditasi. Padahal selama ini pendidikan dokter spesialis dilakukan di RS dengan akreditasi tertinggi. Kedua hal tersebut dikhawatirkan dapat menyebabkan lahirnya tenaga kesehatan yang sub standar. Bila Hal ini terjadi maka yang dirugikan bukan hanya profesi tapi yang lebih dirugikan adalah kesehatan masyarakat yang dilayani,” ungkap Paulus Januar, selaku Ketua Biro Hukum dan Kerjasama PDGI.
Peningkatan Akses Layanan untuk Masyarakat dan Kesejahteraan Para Tenaga Medis
Lima organisasi profesi medis ini juga menyampaikan bahwa cukup banyak tenaga medis dan tenaga kesehatan dengan ikatan kerja yang tidak jelas hingga tidak ada jaminan dalam menjalankan pekerjaan profesinya.
RUU Kesehatan Omnibuslaw ini ternyata tidak memberikan jaminan hukum mengenai kepastian kerja dan kesejahteraan tenaga medis dan tenaga kesehatan, bahkan juga tidak ada jaminan perlindungan hukum bagi para tenaga kesehatan.
Apapun yang selama ini didengungkan oleh pemerintah, tidak pernah dijalankan di lapangan, pada akhirnya selalu Organisasi Profesi yang selalu berada di garis depan melindungi anggotanya. Misalkan saja, kekerasan terhadap dokter internship yang terjadi di Lampung baru-baru ini, dan yang beberapa waktu lalu terjadi terhadap dr Zaenal Mutaqqin, sebagai dokter spesialis bedah saraf dengan keahlian langka, namun karena sikap kritisnya ternyata dapat dihentikan kontrak kerjanya di RS Karyadi Semarang.
“Kalau terhadap seorang guru besar dan dokter spesialis konsultan dengan reputasi internasional dapat diperlakukan demikian, bagaimana dengan tenaga kesehatan yang lebih lemah posisinya. Ternyata pada RUU Kesehatan tidak melindungi tenaga medis dan tenaga kesehatan dalam mendapatkan kepastian dalam menjalankan pekerjaan profesinya,” ungkap Mahesa Paranadipa Maikel, selaku Wakil Ketua II PB IDI.
Tantangan terhadap Akses Pelayanan Kesehatan
Salah satu tantangan utama yang dihadapi sistem kesehatan Indonesia adalah akses terhadap perawatan. Menurut data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), hanya 38 persen penduduk Indonesia yang memiliki akses terhadap layanan kesehatan dasar. Hal ini sebagian disebabkan kurangnya infrastruktur dan sumber daya di daerah pedesaan, di mana banyak orang Indonesia tinggal. Untuk mengatasi masalah ini, perlu ada perluasan fasilitas dan layanan kesehatan di daerah-daerah tersebut, serta peningkatan pembiayaan untuk kesehatan.
“Banyak tenaga kesehatan yang bersedia bertugas di tempat-tempat terpencil, namun tidak dapat bekerja secara maksimal karena minimnya sarana baik fasilitas kesehatan maupun akses menuju faskes yang tidak diperhatikan oleh pemerintah. Belum lagi masih tidak jaminan perlindungan dan keselamatan para tenaga kesehatan saat bertugas dari pemerintah setempat dan pusat,” jelas Ade Jubaedah, selaku Sekretaris Jenderal PB IBI.
“Ada dua hal yang membuat kami terpaksa melakukan rencana aksi, pertama pembahasan RUU ini yang dari awal banyak yang disembunyikan dan sangat terburu-buru tanpa memperhatikan masukan dari kami dari Organisasi Profesi Kesehatan medis. Kedua, ada upaya untuk mengadu domba memecah belah masyarakat profesi yang akan sangat merugikan masa depan kesehatan. Keberadaan Organisasi Profesi Kesehatan yang selama ini mengabdi bagi negeri tidak diterima masukannya,” kata Tresnawati, selaku Wakil Sekretaris Jenderal IAI.
Kesimpulannya, bahwa kelima organisasi profesi medis ini juga menyoroti pentingnya kolaborasi yang lebih baik antara berbagai pemangku kepentingan di sektor kesehatan. Ini termasuk lembaga pemerintah, organisasi profesi, dan kelompok masyarakat sipil. Dengan bekerja sama, semua pihak dapat mengembangkan strategi yang efektif untuk mengatasi permasalahan dalam layanan kesehatan di Indonesia. (IR)